Rabu, 13 November 2013

Cerpen 2



Pilihan Hidupku

Setiap hari adalah pilihan, memilih untuk menopang dagu dengan tangan atau memilih bergerak dengan penuh paksaan. Menurutku lebih nikmat menopang dagu dengan tangan selama beberapa jam, dan merangkai sejuta angan. Menghayalkan semua imaji dalam lamunan, bergerak dan terus melambungkan masa yang akan datang sesuai yang aku mau. “Senangnya” suamiku adalah seorang yang kaya raya, baik hati dan taat beragama, tak perlu lah aku sebagai wanita bekerja dan ikut membanting tulang untuk menerjang kerasnya dunia. Aku hanya akan menghabiskan uangnya, pergi ke salon setiap minggu, dan makan enak sesuai yang aku mau, aku juga akan membeli baju, sepatu, tas model terbaru. Dan yang lebih penting aku bisa menunjukan kekayaanku pada orang-orang di kampungku. Dan membuat orang tuaku bangga memiliki anak sepertiku. Setiap pulang ke rumah orang tuaku, aku harus membawa mobil supaya semua mata melihat sekarang aku sudah sukses dan aku bisa membawa mereka berlibur keliling dunia. Indah sekali hidupku,  dengan uang aku bisa merangkai mimpiku.
 Dalam mimpi imajiku terus berlayar hingga samudra yang luas, tak ada batasan yang menghalangiku tak ada rintangan. Samudra begitu luas membentang biru, bersatu dengan langit di ujung yang tak pernah berujung, dihiasi lengkung pelangi yang menghangatkan sanubari, aku menutup mata menikmati sentuhan angin yang menerpa wajahku. Ku hirup sebagian udara pagi yang menjadi energi alami untuk menenagkan pikiran dan hati. Sebelum akhirnya aku menyadari, aku hanyalah orang biasa yang tak pernah punya mimpi. Meskipun kata guru – guruku dulu  bercita citalah setinggi langit. Dan akupun menuruti aku membuat cita-cita aku tulis cita- cita dengan tulisan yang besar dan ku tempel di dinding kamarku. Dinding dinding yang menjadi saksi kebodohanku. Dinding dinding yang terus menertawaiku. Dinding dinding yang kini selalu menghujatku pecundang. Cita – citaku sederhana tak setinggi langit seperti kata guruku, aku hanya ingin menjadi seorang dokter, dokter yang mengobati tanpa tanpa melihat penampilan, dokter yang ramah dan murah senyum, dokter yang berhati nurani dan berjiwa penolong dan dokter yang tak pernah menolak pasiennya yang sedang sekarat.
Semua berawal dari dokter gila itu, yang menolak ibuku dengan perut yang terus di gerogoti bakteri. Sudah tiga rumah sakit daerah tak bisa menangani hingga harus  dirujuk ke rumah sakit terbesar. Namun kata dokter “yang masuk ke UGD adalah orang yang sudah tak sadarkan diri dan memakai ambulance lah ini ibu masih sehat bisa bicara kok masuknya ke UGD, sudah sana antre mendaftar dulu di bagian poli”. Untung saja ibuku tak meninggal di tempat, mendengar perkataan dokter yang kejam itu. Ibuku memang orang yang kuat meskipun penyakit sudah lama menggerogoti tubuhnya namun ia tak lemah dan tak pernah mau meropotkan orang lain. Sungguh aku tak mengerti tapi kami sekeluarga membawa surat rujukan dari rumah sakit daerah, atau karena penampilan kami yang kampungan, atau ibuku harus sekarat dulu. Setelah melalui perdebatan panjang akhirnya ibu dizinkan masuk ke UGD sebelum akhirnya diperiksa lebih lanjut oleh dokter tak berhati itu. Ternyata memang benar isi perut ibu sudah rusak kotor sehingga harus mengalami operasi berkali kali. Saat operasi yang pertama gagal ayahku sudah pucat pasi. Ayahku adalah seorang pengangguran hanya mengurusi sawah warisan, setelahnya tidur dan bersantai di rumah. Ya aku heran mengapa ayahku tak pernah berusaha mencari penghasilan tambahan, padahal jika ia cekatan pasti tanah- tanah warisannya bisa di bisniskan. Untung saja ibu adalah PNS yang sudah sertifikasi jadi cukup untuk menghidupi keluarga yang pada saat itu aku masih SD. Namun seolah bencana besar merobohkan kehidupan kami, mengobrak abrik seluruh isi rumah kami. Mulut ini sudah kelu, mata ini sudah kering. Setelah operasi yang keempat mungkin perut ibu sudah tak bersedia di bedah dan dibedah lagi, sehingga ibu memilih untuk tidur selamanya. Aku marah mengapa ibu tak mau bertahan, demi aku demi cita- citaku. Ibulah yang selalu memberiku semangat dan mendukung cita- citaku. Tapi sejak saat itu aku tak pernah bermimpi lagi, meski tetap aku masih suka berimajinasi merangkai kehidupan yang menyenangkan  menjadi orang yang aku inginkan. Bedanya dulu aku bermimpi, berusaha, berdoa dan selalu berjuang untuk meraih mimpiku. Namun kini aku hanya merangkai mimpi dalam angan, menjadi orang kaya dalam angan, menjadi dokter dalam angan. Setiap hari aku memilih menopang dagu menikmati hidup yang indah dikamar saja, dari kamar aku bisa keliling dunia, dari kamar aku bisa lanjutkan cita- cita, dan kamarlah dunia yang lebih luas bagiku. Sepertinya kini bukan hanya dinding dinding yang menertawakanku, pintu, jendela, bahkan tempat tidurkun mulai menertawakanku. Aku malu, aku yang selalu ranking 1 kini menjadi pecundang penunggu kamar. Aku yang selalu dibanggakan oleh semua tetanggaku karena kecerdasanku, kini hanya rasa sedih yang setiap saat menyelimuti hidupku. Aku malu saat melihat teman- temanku yang dulu tak sepintar aku telah jadi sarjana. Meskipun aku sering jadi orang kaya, sering keluar negeri, namun semua itu hanya dalam naskah-naskah drama yang usung yang hanya di pentaskan olehku saja.
Kesedihan itu tak berhenti ketika ibuku meninggalkan kami, rupanya ayah tak kuasa memikirkan kami sendiri, di tambah tanah – tanah yang sudah dijual untuk biaya operasi ibuku.  Ayah merasa tak mampu menghidupi kami tanpa ibu, hingga suatu hari aku kebingungan melihat tingkah laku ayahku. Setiap pagi dia selalu bersiap – siap seolah mengantarkan ibu ke sekolah. Dia bercengkrama dan tertawa bahagia menyalakan motor lalu pergi ke sekolah, kemudian pulang duduk di ruang tengah sambil melamun. Aku takut, aku tak tau harus bagaimana dan aku tak pernah mengadu pada siapapun. Setiap kali adiku menagis mencari ibu aku hanya bisa berbohong ibu sedang pergi ke warung dan selalu begitu setiap hari. Aku tak lagi memikirkan cita- citaku,  yang ada di benaku adalah malu magaiman kalau teman-tamanku tahu aku yang selalu rangking satu, kini tak ingat lagi semua rumus matematika dan lupa cara menulis.
Aku masih memperhatikan ayahku yang ketika mendengar lonceng jam berbunyi menujukan pukul satu siang langsung bergegas menyalakan motor dan pergi ke sekolah lalu pulang lagi dan tidur. Begitu dan begitu setiap hari, hingga lama kelamaan semua tetanggaku memperhatikan tingkah laku ayahku yang sudah tak sama seperti dulu. Sebegitu terpukulkah ayahku hingga harus seperti itu? Lalu bagaimana dengan aku yang belum genap 12 tahun ini? Lalu bagaimana aku harus mengurusi adik- adiku yang seringkali menangis dan menanyakan ayah dan ibu.
Saat ini usiaku 20 tahun, sudah 9 tahun masa-masa itu berlalu. Terasa cepat sekali kenangan indah hidupku terlewati. Sembilan tahun terlihat seperti sebentar sekali jika dilihat dengan usia sekarang. Namun saat itu, saat aku masih ingin bermimpi, saat aku ingin berprestasi, saat aku tidak ingin hanya mengurusi adik- adiku yang rewel, saat aku ingin juga bermain dengan teman-taman. Waktu itu terasa siksaan bagiku, setiap hari adalah sama, sama-sama derita dan petaka. Belum lagi ayahku yang tidak mau makan dan kadang mengamuk. Lalu siapa yang harus meneruskan mimpiku. Jika aku terus terpaku pada kesedihanku.
Inilah jalan hidupku sekarang, inilah pilihanku sekarang. Di dalam kamar cita- citaku ku tuliskan. Di dalam kamar aku marangkai angan. Dan kini di dalam kamar pula aku bertahan hidup. Ku gantungkan dulu cita-citaku. Ku tinggalkan dulu semua hayal semu. Hidup ini kenyataan yang harus dijalani. Sudah terlalu lelah aku bermimpi hingga semua mimpi yang menyenangkan telah aku rasakan. Namun aku dan adik –adiku lapar jika tak makan. Aku tak bisa hidup hanya dengan mimpi dan membiarkan adiku mati karena mimpi busuku menjadi seorang dokter. Dan sekarang di dunia nyata ini, setelah ku gantungkan cita-citaku dan menutupinya dengan beberapa helai baju. Di dalam kamarlah aku mencari uang. Hanya ini kenyataan yang bisa aku kerjakan, karena meski kejadian pahit menghapuskan seluruh isi dalam otaku. Namun kajadian pahit tak pernah menghapus kecantikanku dan keelokan tubuhku. Aku tetap sama cantik dan menawan. Itulah kenyataan, kanyataan yang harus aku jalani dan syukuri. Meski harus ku relakan mimpiku hanya tertutupi bajuku dan baju pelangganku. Tapi aku, adiku dan ayahku tak pernah kelaparan lagi. Dan inilah kenyataannya, meski sering kali aku masih menopang dagu.  

Rabu, 24 Juli 2013

Analisis Puisi "Nyanyian Gerimis"




Description: Description: F:\unnes1.jpg
 









ANALISIS STRUKTURAL ROMAN JAKOBSON
PUISI NYANYIAN GERIMIS

Karya Soni Farid Maulana


Disusun Guna Memenuhi Tugas Apresiasi Puisi
Dosen Pengampu Drs. Mukh Doyin, M. Si.

Oleh

Wening Suryandari              (2101412104)

Rombel 3



PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
2013




ISI


A.    Puisi
NYANYIAN GERIMIS
SONI FARID MAULANA


Telah kutulis jejak hujan
Pada rambut dan kulitmu yang basah. Kuntum
Demi kuntum kesepian yang mekar seluas kalbu
Dipetik hangat percakapan juga gerak sukma
Yang saling memahami gairah terpendam
Dialirkan sungai ke muara

           Sesaat kita larut dalam keheningan
                       Cinta membuat kita betah hidup di bumi
Ekor cahaya berpantulan dalam matamu
           Seperti lengkung pelangi
                       Sehabis hujan menyentuh telaga

           Inikah musim semi yang sarat nyanyian
Juga tarian burung-burung itu?
              Kerinduan bagai awah gunung berapi
                       Sarat letupan. Lalu desah nafasmu
           Adalah puisi adalah gelombang lautan
                       Yang menghapus jejak hujan
Di pantai hatiku. Begitulah jejak hujan
           Pada kulit dan rambutmu
                       Menghapus jarak dan bahasa
                                   Antara kita berdua
                                                                                               1988





B.     Analisis Struktural Roman Jakobson

Analisis struktural meliputi struktur fisik dan struktur batin puisi. Struktur fisik terdiri dari perwajahan puisi, diksi, imaji, kata konkret, majas, rima, irama, dan suasana. Sedangkan struktur batin terdiri dari tema, rasa, nada, dan amanat.

1.      Struktur Lahir

a)      Tipografi

           Tipografi, yang dipakai pada puisi “nyanyian gerimis” sangat terlihat menonjol,  tepi kanan-kiri, pengaturan barisnya, hingga puisi yang hanya memakai satu tanda tanya. Hal-hal tersebut sangat menentukan pemaknaan terhadap puisi meskipun juga bisa hanya sekadar unsur keindahan indrawi. Menggunakan baris – baris yang tak sejajar satu sama lain dan menggunakan sedikit  tanda baca, mungkin mempunyai makna yang mendalam.
           Tipografi pada puisi ini menggunakan huruf besar diawal baris dan tanda titik pada baris kedua . Terbukti pada kutipan puisi dibawah ini

Telah kutulis jejak hujan
Pada rambut dan kulitmu yang basah. Kuntum
Demi kuntum kesepian yang mekar seluas kalbu

Tanda titik pada baris kedua puisi “nyanyian gerimis”  yang dilanjutkan kata kuntum yang diawali dengan huruf besar seolah menonjolkan kata kuntum yang bermakna seorang yang kesepian yang semakin merindu.
Kemudian setelah bait pertama bentuk baris yang tidak rata seperti melengkung, dapat dilihat sebagai berikut:
Sesaat kita larut dalam keheningan
                                   Cinta membuat kita betah hidup di bumi
Ekor cahaya berpantulan dalam matamu
                       Seperti lengkung pelangi
                                   Sehabis hujan menyentuh telaga

Dari bait yang tidak rata tersebut melambangkan kata yang terdapat dalam baris itu sendiri, penyair yang menggambarkan sorot mata yang begitu indah seperti lengkungan pelangi, membuat puisi lebih hidup jika baris- baris dibuat melengkung tak beraturan.
Pada bait selanjutnya baris – baris masih tak beraturan, dapat dilihat sebagai berikut:
Inikah musim semi yang sarat nyanyian
Juga tarian burung-burung itu?
              Kerinduan bagai awah gunung berapi
                       Sarat letupan. Lalu desah nafasmu
           Adalah puisi adalah gelombang lautan
                       Yang menghapus jejak hujan

Ketidakberaturannya baris tersebut, selain sebagai keindahan indrawi namun melambangkan maksud yang disesuaikan dengan kata-kata dan isi puisi pada baris tersebut yaitu kata tarian burung, gelombang lautan sehingga tipografinya juga bergelombang dan tidak beraturan.
Selanjutnya pada empat baris terakhir, yang berbunyi sebagai berikut:
Di pantai hatiku. Begitulah jejak hujan
           Pada kulit dan rambutmu
                       Menghapus jarak dan bahasa
                                   Antara kita berdua

           Pada empat baris terakhir terdapat tanda titik setelah kata hatiku dan baris itu menjorok dari depan lagi, yang mempengaruhi cara membaca dan maksud penyair yang ingin menekan dan memulai lagi dari kata itu. Kemudian sampai baris terakhir sengaja dibuat baris yang tidak lurus tetapi tersusun, melambangkan penyelesaian yang selaras antara kita berdua.

b)   Diksi

Diksi, yaitu pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya. Karena puisi adalah bentuk karya sastra yang sedikit kata-kata dapat mengungkapkan banyak hal, maka kata-katanya harus dipilih secermat mungkin. Pemilihan kata-kata dalam puisi erat kaitannya dengan makna, keselarasan bunyi, dan urutan kata.
Diksi dalam puisi ini menggunakan kata-kata yang tidak mudah dimengerti dalam sekali baca, butuh kepekaan yang tinggi dalam menganalisis makna puisi ini. Seperti penyair memilih kata berpantulan untuk menggambarkan pancaran yang berbinar binar. Penyair juga memilih kata tarian burung-burung, yang menggambarkan keindahan yang tak terhingga. Kemudian penyair menggunakan pilihan diksi  pantai  yang indah digabungkan dengan hatiku menghasilkan makna yang indah pula.

c)    Imaji (Citraan)

Dalam puisi ini pengarang menggunakan imaji pendengaran dan perasaan juga penglihatan. Yang dapat dibuktikan sebagai berikut:
Pada bait pertama baris pertama, yang secara tidak langsung memunculkan imaji penglihatan.
Telah kutulis jejak hujan
Pada rambut dan kulitmu yang basah.
            Pada baris kelima bait pertama yang memunculkan imaji perasaan yaitu:
Yang saling memahami gairah terpendam
Begitu juga pada Cinta membuat kita betah hidup di bumi dan baris terakhir Menghapus jarak dan bahasa  Antara kita berdua yang juga merupakan imaji perasaan.    
           Kemudian pada baris Sesaat kita larut dalam keheningan dan  Sarat letupan. Lalu desah nafasmu yang memunculkan citraan pendengaran.




d)   Kata konkret

Kata kongkret, yaitu kata yang dapat ditangkap dengan indera yang memungkinkan munculnya imaji. Kata-kata ini berhubungan dengan kiasan atau lambang. Pada puisi “nyanyian gerimis” terdapat beberapa kata konkret sebagai berikut:
·         Kuntum Demi kuntum kesepian yang mekar seluas kalbu yang melambangkan kerinduan yang amat sangat.
·         Yang saling memahami gairah terpendam yang melambangkan seakan saling merasa kerinduan meski tak bertemu tapi seolah bertemu dalam angan
·         Sesaat kita larut dalam keheningan yang menggambarkan seorang yang membayangkan kekasihnya di suasana sepi dan sunyi.
·         Ekor cahaya berpantulan dalam matamu melambangkan mata sang kekasih yang berbinar-binar penuh bahagia.
·         Kerinduan bagai awah gunung berapi  melambangkan kerinduan yang amat sangat dan meluap-luap.


e)  Sarana Retorik / Majas
           Dalam puisi “Nyanyian Gerimis” penyair menggunakan gaya bahasa personifikasi, metaforan dan hiperbola dan simile, yang dapat dijabarkan sebagai berikut:
·      Personifikasi     :Telah kutulis jejak hujan
                        kuntum kesepian yang mekar seluas kalbu
                        Dipetik hangat percakapan
                        menghapus jejak hujan

·         Metafora         :Ekor cahaya berpantulan

·         Simile              :Seperti lengkung pelangi          
Kerinduan bagai awah gunung berapi



f)    Rima dan irama

Rima adalah persamaan bunyi pada puisi, baik di awal, tengah, dan akhir baris puisi. Sedangkan irama adalah lagu kalimat yang digunakan penyair dalam mengapresiasikan puisinya.
Rima dalam puisiNyanyian Gerimis” tidak terlalu diatur karena lebih mementingkan isi, rima pada bait pertama yaitu : a-u-u-a-a-a
Telah kutulis jejak hujan (a)
Pada rambut dan kulitmu yang basah. Kuntum (u)
Demi kuntum kesepian yang mekar seluas kalbu (u)
Dipetik hangat percakapan juga gerak sukma (a)
Yang saling memahami gairah terpendam (a)
Dialirkan sungai ke muara (a)

Kemudian pada bait kedua rima juga tidak beraturan, yaitu: a-i-u-i-a
          
Sesaat kita larut dalam keheningan (a)
                       Cinta membuat kita betah hidup di bumi (i)
Ekor cahaya berpantulan dalam matamu (u)
           Seperti lengkung pelangi (i)
                       Sehabis hujan menyentuh telaga (a)

Pada bait terakhir rima juga tak beraturan dan baitpun tidak jelas jumlah barisnya, rima pada bait terakhir yaitu: a- u-i-u-a-a-a-u-a-a

Inikah musim semi yang sarat nyanyian (a)
Juga tarian burung-burung itu?(u)
              Kerinduan bagai awah gunung berapi(i)
                       Sarat letupan. Lalu desah nafasmu (u)
           Adalah puisi adalah gelombang lautan (a)
                       Yang menghapus jejak hujan (a)
Di pantai hatiku. Begitulah jejak hujan(a)
           Pada kulit dan rambutmu (u)
                       Menghapus jarak dan bahasa (a)
                                   Antara kita berdua (a)
          
Irama pada PuisiNyanyian Gerimis” memiliki irama perlahan dan syahdu penuh penghayatan.

g). Enjambemen
Dalam puisi “Nyanyian Gerimis” terdapat beberapa enjambemen diantaranya dapat diamati sebagai berikut:
Pada rambut dan kulitmu yang basah. Kuntum
Demi kuntum kesepian yang mekar seluas kalbu

Jika kita perhatikan artinya kata Kuntum merupakan bagian dari baris selanjutnya, jika dilihat dari tanda bacanya juga kata Kuntum merupakan bagian dari baris selanjutnya. Sehingga kalau kita susun menurut aturan yang umum ,baris  tersebut  mestinya sebagai berikut.
Pada rambut dan kulitmu yang basah.
Kuntum demi kuntum kesepian yang mekar seluas kalbu

Tetapi penulisan tersebut bukan tanpa kesengajaan ada maksud tertentu penyair menulis dengan bentuk demikian. Yang dilakukan penulis tersebut bukan sekedar iseng ataupun hanya memperindah wajah puisi belaka. Namun ada maksud tersendiri dari penyair. Kata kuntum yang pertama sengaja dipisahkan dengan kata setelahnya untuk menekan kata tersebut yang sekaligus menekan arti kata kuntum seperti seorang wanita, yang tidak bisa di dapat jika kuntum yang pertama digabungkan.
Enjambemen juga terdapat pada baris empat dan lima yang  dapat diamati sebagai berikut:
Dipetik hangat percakapan juga gerak sukma
Yang saling memahami gairah terpendam

Jika kita perhatikan baris ke empat dan lima tersebut maka sebenarnya susunan yang benar sesuai kaidah  adalah sebagai berikut:
Dipetik hangat percakapan juga gerak sukma yang saling memahami gairah terpendam

Penyairpun ada maksud tertentu membuat sususnan baris menjadi seperti itu. Perasaan yang timbul jika penulisan baris keempat dan lima digabungkan selain terlalu panjang juga menimbulkan arti yang datar.

Kemudian pada bait kedua baris terakhir juga terdapat ada enjambemen yang dapat di bandingkan sebagai berikut:
Seperti lengkung pelangi
                       Sehabis hujan menyentuh telaga
Penulisan sebenarnya adalah sebagai berikut:
Seperti lengkung pelangi sehabis hujan menyentuh telaga
Namun jika penyair menuliskan puisi seperti bentuk kedua tentu tidak akan terjadi penekanan makna. Puisi akan terasa datar dan pembaca kurang bisa mengambil makna yang ditonjolkan.
Kemudian enjambemen juga terdapat pada bagian akhir yaitu:
                       Menghapus jarak dan bahasa
                                   Antara kita berdua
Jika ditulis sesuai  aturan yang sebenarnya adalah sebagai berikut:
Menghapus jarak dan bahasa Antara kita berdua
Namun penulisan tersebut akan mengurangi makna antara kita berdua, sehingga penyair sengaja memisahkan baris tersebut supaya makananya lebih menonjol.





2.      Struktur batin

a)      Tema
Dalam puisi ini penyair mengangkat tema tentang kerinduan kepada kekasih. Terbukti pada baris-barispuisi berikut ini:
Kuntum
Demi kuntum kesepian yang mekar seluas kalbu
Kemudian dikuatkan lagu lewat baris puisi berikut:
Kerinduan bagai awah gunung berapi
                        Sarat letupan.
Karena kerinduan yang amat sangat kepada sang kekasih sehingga penyair membayangkan kekasihnya di kala hujan gerimis.

b)      Nada dan Suasana

Ketika kita baca judul puisi “nyanyian gerimis” kemudian pada kata Kuntum Demi kuntum kesepian yang mekar seluas kalbu,  terasa sekali suasana puisi tersebut yaitu keadaan kesepian dikala hujan menunggu membayangkan wajah kekasih, di tambah dengan kata kata   Kerinduan bagai awah gunung berapi Sarat letupan mempertegas betapa suasana merindu sang penyair yang terpisah oleh jarak.
           Nada puisi “Nyanyian gerimis” juga sudah dapat dilihat dari suasana puisi sehingga kata pertama puisi
Telah kutulis jejak hujan
Pada rambut dan kulitmu yang basah. Kuntum
Demi kuntum kesepian yang mekar seluas kalbu
semakin terlihat nada puisi tersebut dinyatakan oleh penyairnya dengan eksplisit. Karena pembaca dapat membayangkan langsung nada dan suasana puisi tersebut yaitu orang yang kesepian tanpa kekasih hati. Sehingga nadanya juga mengikuti tema dan suasana yaitu pelan dan tidak berapi api namun santai dan menenangkan.




c)      Amanat

Penyair mengungkapkan rasa kesepiannya dan kerinduannya dengan menghayalkan datangnya kekasih yang menghibur hati. Sehingga penyair semakin yakin akan cintanya yang terpisah oleh jarak dan waktu. Yang memberikan amanat kita harus saling percaya dan terus setia pada kekasih hati meskipun jauh dimata namun selalu dekat dihati kita. Asalkan kita menjaganya.

3.      Kaitan Unsur Satu dengan Unsur yang lain
Dengan tema puisi “Nyanyian Gerimis” yaitu kerinduan kepada kekasih. Yang memiliki arti seorang yang begitu merindukan kekasih hatinya datang sehingga ia membayangkan akan hadirnya, membayangkan parasnya dan saling bertatap muka, meskipun sebenarnya hanya dalam kesunyian saat gerimis tiba.
Puisi ini memiliki suasana yang tenang dan penuh penantian, itu menyebabkan nada yang juga perlahan dan dinikmati kian dalam. Suasana hati penuh khayalan karena kerinduan yang kian memuncak.
Tipografi pada puisi ini menggunakan baris yang tidak beraturan dan sedikit menggunakan tanda baca. Terbukti pada kutipan puisi dibawah ini
Telah kutulis jejak hujan
Pada rambut dan kulitmu yang basah. Kuntum
.......................
Inikah musim semi yang sarat nyanyian
Juga tarian burung-burung itu?
              Kerinduan bagai awah gunung berapi
                       Sarat letupan. Lalu desah nafasmu
           Adalah puisi adalah gelombang lautan
                       Yang menghapus jejak hujan
Di pantai hatiku. Begitulah jejak hujan
           Pada kulit dan rambutmu
                       Menghapus jarak dan bahasa
                                   Antara kita berdu
Dilihat dari tipografi diatas dapat diamati bahwa baris demi baris disusun tidak sejajar dan terlihat acak yang juga berkaitan dengan enjambemen. Hal ini bukan sekadar untuk keindahan indrawi namun juga untuk membantu lebih mengintensifkan makna dan rasa. Atau suasana puisi yang bersangkutan.
Kemudian diksi yang digunakan juga mempengaruhi suasana puisi tersebut, karena diksi yang dipakai cenderung romantis maka suasana yang dihasilkan juga romantis dan kesetiaan. Kemudian dari pilihan diksi yang dipilih penyair juga menimbulkan citraan tertentu atau pengimajian. Demikian beberapa unsur puisi yang salaing berkaitan satu sama lain.
Selanjutnya tema juga berelasi dengan amanat, dengan tema kerinduan kepada kekasih maka amanatnyapun mengenai sikap bagaimana menghadapi kerinduan pada kekasih.












SIMPULAN


Simpulan dari menganalisis puisi “Nyanyian Gerimis” yaitu didalam sebuah puisi mengandung banyak sekali unsur-unsur, didalam unsur-unsur tersebut saling berkaitan dan unsur-unsur tersebut mempunyai makna yang indah jika kita bisa memahmi dan mengapresiasikannya. Bukan hanya sekedar membaca dan mengambil rima, kata konkret sebuah puisi itu saja,  akan tetapi wujud dari puisi tersebut yang menggunakan kata-kata yang indah dan tidak semua orang dapat mengerti, itulah kelebihan sebuah puisi.
Tema dalam puisi berkaitan erat dengan amanatnya. Tema puisi di atas yaitu kerinduan kepada kekasih. Yang memiliki arti kerinduan yang begitu dalam dan semakin meluap didalam hati sanubari manusia membuat khayalan melambung tinggi. Maka dari itu, puisi ini memiliki amanat sesorang seorang harus sabar menanti dan tetap menjalani hidup jang terpesona saja oleh lamunan..Begitu juga dengan irama dalam puisi nyanyian gerimis saling berkaitan erat dengan nada dan suasana yang ditampilkan dalam puisi diatas.