Rabu, 27 Februari 2013

first cerpen


Karangan Narasi

Perjuangan Anak Batu

Matanya hanya memandangi tangannya yang penuh goresan luka, tulang - tulang pipinya makin lama makin jelas  terlihat, mata yang tajam dan cekung semakin lama semakin sayup dan dulu dia tak sehitam sekarang. Saukani seorang anak kelas 4 SD yang tidak pernah merasakan bermain dengan teman sebayanya, bahkan dia tidak mengerti film kartun yang di sukai semua teman-temanya. Tapi dia tidak pernah merasa harus melakukan seperti teman-temannya, dia tetap kuat dan tegar dia terus memecahkan kepingan batu besar dan membaginya menjadi kepingan kepingan kecil. Di sekelilingnya terdengar suara anak –anak sebayanya berlarian kesana kemari, berteriak dan tertawa bahagia karena di belikan mobil- mobilan baru oleh ayahnya. Tapi Saukani kecil tetap memukulkan palu yang ukurannya lebih besar dari tangannya ke batu- batu itu. Dia tak beranjak mengikuti kawan- kawannya bercanda gurau tertawa bahagia. Meski sesekali dia terdiam dia menerawang jauh kedepan tapi entah apa yang ia pikirkan.
Ketika sore menjelang dia berkemas untuk pulang kerumahnya, dengan badan yang lemas tak betenaga dia menyusuri perkebunan dan sungai - sungai. Sesekali tubuhnya gemetar menahan lapar. Karena sepulang sekolah Saukani tidak pernah pulang ke rumah, dia ingin membantu ayahnya yang hanya seorang buruh tani yang harus menghidupi ketiga anaknya. Saukani adalah anak pertama, meskipun umurnya masih kanak- kanak tapi sepertinya dalam benaknya dia tak pernah berpikir untuk bermain dan meminta apapun pada orang tuanya. Yang dia pikirkan adalah bisa membantu orang tuanya.
Setelah menyeberangi dua sungai sampailah ia pada sebuah bangunan kecil yang terlihat seperti gubug, di dalamnya hanya terdapat satu ruangan saja. Tak ada tempat tidur tak ada kompor tak ada apapun yang bisa diminati oleh pencuri dari bangunan yang sangat sederhana itu. Bangunan itu dikelilingi oleh pepohonan yang hijau dan ada kayu bakar persis di depan pintu tengahnya. Keluar dari dalam seorang wanita paruh baya berusia tiga puluhan sedang menggendong anaknya, tetapi wanita itu telihat sangat kusut seperti banyak pikiran yang mengganjal di otaknya sehingga wajahnya tampak lebih tua dari umurnya.Wanita itu menyambut hangat kedatangan Saukani dan diapun menyalaminya dan mencium tangannya. “Makan Nak!”, kata wanita itu lalu Saukani berjalan menuju tempat biasa mereka menyimpan makanan, “Maaf ya nak hari ini hanya ada itu!”, celetuk wanita itu saat  Saukani  melihat ke tempat makan. Yang terlihat di tempat makan adalah sisa nasi satu piring yang sengaja ibunya sisakan untuknya dan sayur hujau yang tak jelas daun apa yang dimasak ibunya karena setahu Saukani ibunya sudah tak punya uang untuk membeli sayur, mungkin itu semacam rumput di kebun belakang yang di sulap ibunya menjadi makanan di rumahnya.
Selesainya makan dia mandi, tetapi ayahnya belum juga pulang, ayahnya memang sekarang sering pulang larut malam tetapi dia bukan lembur di kantor atau pergi keluar kota karena ada tugas, ayanhnya entah kemana dan apa yang dia lakukan, tak ada orang yang tahu. Dia sering pulang malam tanpa membawa apapun, tapi ia sangat menyayangi Saukani dan kedua adiknya. Mungkin dia tak tega berlama - lama bersama ketiga anaknya karena tak kuat melihat ketiga anaknya kurus kering kekuranagan gizi. Ayah Saukani adalah keturunan orang terkemuka di kampungnya dia anak kedua dari 7 bersaudara. Semua keluarganya berbeda nasib dengan ayahnya. Paman Baikuni misalnya, ia tinggal diperumahan elit yang tidak mengenal tetangganya, mobilnya kurang tahu berapa tapi setiap dilihat, pamannya tak pernah tetap mobilnya. Makanpun tak pernah disembarang tempat hanya di tempat – tempat elit dia mau makan. Begitu juga dengan 5 saudaranya yang lain tak jauh beda dengan Paman Baikuni. Tapi sayang mereka sepertinya melupakan saudara mereka yang satu ini. Sampai suatu ketika ayahnya merasa sangat terpaksa meminta bantuan Bibi Hamidah yang suaminya mempunyai perkebunan sawit itu, Tapi dia mengatakan, “Siapa kamu, Saya tak punya saudara sepertimu, dan tak sudi aku kerumahmu rumah di injak saja roboh, dan kalau kamu mati juga aku gak akan melayatmu”. Sejak saat itu ayah Saukani tak pernah meminta bantuan apaun kepada keluarganya. Dan Saukani yang mendengar perkataan bibinya sendiripun tak akan pernah melupakan dan akan selalu terngiang di benaknya. Tapi kata – kata itu justru menjadi pembangkit semangat Saukani, dia tidak mau orang tuanya dihina serendah itu lagi. Sebenarnya tak jelas mengapa nasib bisa membawa Saukani dan keluarganya ke situasi yang sangat memilukan dan memprihatinkan seperti sekarang ini.
Sekitar pukul Sembilan ayahnya pulang disambut oleh ibu dengan hangat tanpa menunjukan wajah muram sedikitpun. Dan seperti biasa ayahnya pulang tak membawa apapun, bahkan Saukani tidak tau apa yang ayahnya kerjakan di luar sana. Dia sering berbincang lama dengan ibunya seperti mempunyai rencana besar yang Saukani sendiri tidak pernah ikut campur.
Saukani merasa agak lelah, badannya terasa  pegal disana sini kantung matanya juga sudah menghitam melingkari matanya yang tajam. Tapi dia terus memandangi buku-bukunya dan sesekali mencorat- coret kertasnya. Dia memang hanya seorang anak yang tidak punya tapi ayahnya selalu berpesan agar dia rajin belajar dan harus jadi orang pintar. Perintah ayahnya selalu ia taati sehingga setiap malam dia tidak pernah melupakan belajar meski tubuhnya kadang sudah tak kuat lagi untuk hanya duduk membaca buku, tapi tekad kuatnya selalu mengalahkan rasa lelah itu. Saat kenaikan kelas kemarin dia mendapat hadiah sepatu dari ibu gurunya, kata Bu Neli kepada orang tua Saukani,  Saukani adalah anak yang cerdas dia bisa memahami pelajaran lebih cepat  dari teman-temanya, tak heran jika dia selalu juara satu di kelasnya. Bu Neli selalu berpesan kepada ibunya Saukani tidak boleh putus sekolah. Sehingga ayahnyapun selalu berusaha untuk pembayaran sekolah Saukani, kadang makan menjadi urusan kedua setelah sekolahnya.
Beberapa tahun setelah Saukani duduk di bangku SMP, kondisi keluarganya berangsung angsur membaik. Tubuhnyapun tidak sekurus dulu lagi, mata cekungnya mulai memudar tulang – tulang di pipinya juga sudah tidak terlihat lagi. Sekarang waktunya pengumuman kenaikan kelas satu, semua wali murid di wajibkan hadir pada pembagian rapor. Di gedung Aula semua wali murid di kumpulkan, ada seorang guru yang ingin memberikan pengumuman di atas panggung. Semua wali muridpun cemas takut putra putrinya tidak naik kelas. Setelah beberapa menit Pak Warso yang awalnya sedikit berbasa - basi akhirnya mengumumkan inti pembicaraannya bahwa diumumkan untuk tahun ini ada dua anak siswa kelas satu yang tidak perlu menjalani proses pembelajaran di kelas dua dikarenakan sudah lulus ujian akselerasi dan pertimbangan nilai – nilai yang sangat baik oleh karena itu seluruh jajaran guru dan disetujui oleh dinas pendidikan telah memutuskan bahwa ananda Saukani Harahap dan Rini Eriska berhak naik ke kelas 3. Betapa terkejutnya perasaan Saukani dia tidak percaya dengan yang ia dengar barusan. Ayahnyapun sangat berbinar matanya dia selalu bangga terhadap anak pertamanya.
Tahun berikutnya dari usaha kecil – kecilan dan sedikit modal pinjaman ayahnya bisa membeli tanah untuk ditanami karet, sehingga kondisi keluarganya semakin membaik. Saukani dan kedua adiknya kini juga sudah bisa menonton televisi. Rumah yang dulu hanya sekedar gubug kecil yang tak ada pemisah antara dapur dan kamar kini telah menjadi rumah yang berlantai. Saukanipun dilarang ayahnya memecahkan batu – batu lagi. Meski kadang dia merasa kangen ingin memegang palu dan batu lagi. Bekas – bekas luka di tangannya sampai kini masih ada, yang membuatnya sering tertegun dan bersyukur dengan kehidupan ini.
Setelah lulus SMP Saukani meminta izin kepada ayahnya untuk merantau ke Ibu Kota. Tak mengarti apa yang ia pikirkan ia hanya ingin memncari pengalaman hidup. Sebenarnya ayahnya keberatan karena dia sudah di terima di SMA ternama di daerahnya. Tapi kemauannya sangat keras untuk merantau. Dia ingin belajar dari lingkungan.
Matahari tepat berada di ubun – ubun ketika terdengar suara yang tak asing di telinga, “Aqua-aqua mizone minuman dingin yang dingin yang dingin” suara mulut Saukani menawarkan minuman di salah satu terminal bus di Jakarta, tak mengerti jalan pikiranya padahal kini ayahnya sudah bisa membeli motor dan mempunyai tabungan. Diapaun anak yang cerdas yang tidak menemukan kesulitan dalam belajar. Tapi mengapa dia memilih berjualan di terminal daripada sekolah dan belajar. Malam semakin larut ketika anak- anak remaja penghuni terminal berpesta pora dengan minuman keras, Saukani termasuk di dalam gerombolan itu. Apa yang sebenarnya dipikirkan Saukani seorang anak cerdas yang sangat patuh kepada ayahnya mengapa harus menjadi seperti sekarang ini.
Sudah hampir satu tahun dia merantau bukan ilmu yang ia dapat tapi kegersanagan jiwa, dia sering duduk termenung di bangunan tinggi di dekat terminal. Dia menerawang pandangannya lurus ke depan, tapi entah apa yang ia pikirkan. Kini hatinya sering menangis dan merasa was-was. Pada siang harinya dia tidak berjualan lagi dia bercerita tentang apa yang ia rasakan kepada salah seorang temanaya. Saukani ingin sekolah lagi, tapi sekolah agama. Entah dari mana datangnya pikiran itu, dia seperti terbius oleh kehampaan jiwanya. Jiwa yang gersang itu membutuhkan siraman air yang sejuk dan dingin. Dan cahaya yang menyinari kegelapan hatinya yang mebuka mata dan pikirannya.
Tepat satu bulan setelah perbincangan itu ia memutuskan untuk pergi ke Jawa Timur, sesuai saran dari temannya yang mengetahui sedikit informasi tentang sekolah agama yang besar di sana. Ayahnya sangat mendukung keputusannya, setelah ia memberi kabar bahwa ia ingin masuk sekolah agama langsung ayahnya mengirimkan uang kepadanya. Sesampainya di sekolah tersebut Saukani tak mengerti apa yang harus ia lakukan ia datang seorang diri tak seperti yang lain yang mendaftar bersama orang tuanya. Empat tahun berlalu dari pendaftaran hingga kelulusan di sekolah agama itu orang tuanya tak pernah menjenguknya, hanya doa dari ayah dan ibunya dan kiriman uang yang selalu ia terima setiap bulan. Tapi ia sungguh sangat bersyukur keputusannya bersekolah di tempat itu telah membuka wawasannya keilmuannya, dan telah mendidiknya menjadi pribadi yang lebih sempurna akhlak dan budi pekertinya, perjuanagan hidup kental ia rasakan selama belajar di sekolahnya itu.
Saukani sipemecah batu yang kurus kering karena kekurangan makan dan berkulit hitam karena sengatan terik matahari demi membantu ayahnya memenuhi kebutuhan hidupnya, dan telah merasakan pahitnya kehidupan sebagai penjual minuman di Ibu kota. Kini ia menjadi kebanggan orang tua dan desanya. Saukani Harahap student of  Internasional Islamic University of  Malaysia. Hidup itu seperti roda yang berputar saat kamu berada di bawah jangan pernah putus asa untuk berjuang!!     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar