Karangan
Narasi
Perjuangan
Anak Batu
Matanya hanya
memandangi tangannya yang penuh goresan luka, tulang - tulang pipinya makin
lama makin jelas terlihat, mata yang
tajam dan cekung semakin lama semakin sayup dan dulu dia tak sehitam sekarang.
Saukani seorang anak kelas 4 SD yang tidak pernah merasakan bermain dengan
teman sebayanya, bahkan dia tidak mengerti film kartun yang di sukai semua
teman-temanya. Tapi dia tidak pernah merasa harus melakukan seperti
teman-temannya, dia tetap kuat dan tegar dia terus memecahkan kepingan batu
besar dan membaginya menjadi kepingan kepingan kecil. Di sekelilingnya
terdengar suara anak –anak sebayanya berlarian kesana kemari, berteriak dan
tertawa bahagia karena di belikan mobil- mobilan baru oleh ayahnya. Tapi Saukani
kecil tetap memukulkan palu yang ukurannya lebih besar dari tangannya ke batu-
batu itu. Dia tak beranjak mengikuti kawan- kawannya bercanda gurau tertawa
bahagia. Meski sesekali dia terdiam dia menerawang jauh kedepan tapi entah apa
yang ia pikirkan.
Ketika sore menjelang
dia berkemas untuk pulang kerumahnya, dengan badan yang lemas tak betenaga dia
menyusuri perkebunan dan sungai - sungai. Sesekali tubuhnya gemetar menahan
lapar. Karena sepulang sekolah Saukani tidak pernah pulang ke rumah, dia ingin
membantu ayahnya yang hanya seorang buruh tani yang harus menghidupi ketiga
anaknya. Saukani adalah anak pertama, meskipun umurnya masih kanak- kanak tapi
sepertinya dalam benaknya dia tak pernah berpikir untuk bermain dan meminta
apapun pada orang tuanya. Yang dia pikirkan adalah bisa membantu orang tuanya.
Setelah menyeberangi
dua sungai sampailah ia pada sebuah bangunan kecil yang terlihat seperti gubug,
di dalamnya hanya terdapat satu ruangan saja. Tak ada tempat tidur tak ada
kompor tak ada apapun yang bisa diminati oleh pencuri dari bangunan yang sangat
sederhana itu. Bangunan itu dikelilingi oleh pepohonan yang hijau dan ada kayu
bakar persis di depan pintu tengahnya. Keluar dari dalam seorang wanita paruh
baya berusia tiga puluhan sedang menggendong anaknya, tetapi wanita itu telihat
sangat kusut seperti banyak pikiran yang mengganjal di otaknya sehingga
wajahnya tampak lebih tua dari umurnya.Wanita itu menyambut hangat kedatangan
Saukani dan diapun menyalaminya dan mencium tangannya. “Makan Nak!”, kata wanita
itu lalu Saukani berjalan menuju tempat biasa mereka menyimpan makanan, “Maaf
ya nak hari ini hanya ada itu!”, celetuk wanita itu saat Saukani
melihat ke tempat makan. Yang terlihat di tempat makan adalah sisa nasi
satu piring yang sengaja ibunya sisakan untuknya dan sayur hujau yang tak jelas
daun apa yang dimasak ibunya karena setahu Saukani ibunya sudah tak punya uang
untuk membeli sayur, mungkin itu semacam rumput di kebun belakang yang di sulap
ibunya menjadi makanan di rumahnya.
Selesainya makan dia
mandi, tetapi ayahnya belum juga pulang, ayahnya memang sekarang sering pulang
larut malam tetapi dia bukan lembur di kantor atau pergi keluar kota karena ada
tugas, ayanhnya entah kemana dan apa yang dia lakukan, tak ada orang yang tahu.
Dia sering pulang malam tanpa membawa apapun, tapi ia sangat menyayangi Saukani
dan kedua adiknya. Mungkin dia tak tega berlama - lama bersama ketiga anaknya
karena tak kuat melihat ketiga anaknya kurus kering kekuranagan gizi. Ayah Saukani
adalah keturunan orang terkemuka di kampungnya dia anak kedua dari 7
bersaudara. Semua keluarganya berbeda nasib dengan ayahnya. Paman Baikuni
misalnya, ia tinggal diperumahan elit yang tidak mengenal tetangganya, mobilnya
kurang tahu berapa tapi setiap dilihat, pamannya tak pernah tetap mobilnya.
Makanpun tak pernah disembarang tempat hanya di tempat – tempat elit dia mau
makan. Begitu juga dengan 5 saudaranya yang lain tak jauh beda dengan Paman
Baikuni. Tapi sayang mereka sepertinya melupakan saudara mereka yang satu ini.
Sampai suatu ketika ayahnya merasa sangat terpaksa meminta bantuan Bibi Hamidah
yang suaminya mempunyai perkebunan sawit itu, Tapi dia mengatakan, “Siapa kamu,
Saya tak punya saudara sepertimu, dan tak sudi aku kerumahmu rumah di injak
saja roboh, dan kalau kamu mati juga aku gak akan melayatmu”. Sejak saat itu
ayah Saukani tak pernah meminta bantuan apaun kepada keluarganya. Dan Saukani
yang mendengar perkataan bibinya sendiripun tak akan pernah melupakan dan akan
selalu terngiang di benaknya. Tapi kata – kata itu justru menjadi pembangkit
semangat Saukani, dia tidak mau orang tuanya dihina serendah itu lagi. Sebenarnya
tak jelas mengapa nasib bisa membawa Saukani dan keluarganya ke situasi yang
sangat memilukan dan memprihatinkan seperti sekarang ini.
Sekitar pukul Sembilan
ayahnya pulang disambut oleh ibu dengan hangat tanpa menunjukan wajah muram
sedikitpun. Dan seperti biasa ayahnya pulang tak membawa apapun, bahkan Saukani
tidak tau apa yang ayahnya kerjakan di luar sana. Dia sering berbincang lama
dengan ibunya seperti mempunyai rencana besar yang Saukani sendiri tidak pernah
ikut campur.
Saukani merasa agak
lelah, badannya terasa pegal disana sini
kantung matanya juga sudah menghitam melingkari matanya yang tajam. Tapi dia
terus memandangi buku-bukunya dan sesekali mencorat- coret kertasnya. Dia
memang hanya seorang anak yang tidak punya tapi ayahnya selalu berpesan agar dia
rajin belajar dan harus jadi orang pintar. Perintah ayahnya selalu ia taati
sehingga setiap malam dia tidak pernah melupakan belajar meski tubuhnya kadang
sudah tak kuat lagi untuk hanya duduk membaca buku, tapi tekad kuatnya selalu
mengalahkan rasa lelah itu. Saat kenaikan kelas kemarin dia mendapat hadiah
sepatu dari ibu gurunya, kata Bu Neli kepada orang tua Saukani, Saukani adalah anak yang cerdas dia bisa
memahami pelajaran lebih cepat dari
teman-temanya, tak heran jika dia selalu juara satu di kelasnya. Bu Neli selalu
berpesan kepada ibunya Saukani tidak boleh putus sekolah. Sehingga ayahnyapun
selalu berusaha untuk pembayaran sekolah Saukani, kadang makan menjadi urusan
kedua setelah sekolahnya.
Beberapa tahun setelah
Saukani duduk di bangku SMP, kondisi keluarganya berangsung angsur membaik.
Tubuhnyapun tidak sekurus dulu lagi, mata cekungnya mulai memudar tulang –
tulang di pipinya juga sudah tidak terlihat lagi. Sekarang waktunya pengumuman
kenaikan kelas satu, semua wali murid di wajibkan hadir pada pembagian rapor.
Di gedung Aula semua wali murid di kumpulkan, ada seorang guru yang ingin
memberikan pengumuman di atas panggung. Semua wali muridpun cemas takut putra
putrinya tidak naik kelas. Setelah beberapa menit Pak Warso yang awalnya sedikit
berbasa - basi akhirnya mengumumkan inti pembicaraannya bahwa diumumkan untuk
tahun ini ada dua anak siswa kelas satu yang tidak perlu menjalani proses
pembelajaran di kelas dua dikarenakan sudah lulus ujian akselerasi dan
pertimbangan nilai – nilai yang sangat baik oleh karena itu seluruh jajaran
guru dan disetujui oleh dinas pendidikan telah memutuskan bahwa ananda Saukani
Harahap dan Rini Eriska berhak naik ke kelas 3. Betapa terkejutnya perasaan
Saukani dia tidak percaya dengan yang ia dengar barusan. Ayahnyapun sangat
berbinar matanya dia selalu bangga terhadap anak pertamanya.
Tahun berikutnya dari
usaha kecil – kecilan dan sedikit modal pinjaman ayahnya bisa membeli tanah
untuk ditanami karet, sehingga kondisi keluarganya semakin membaik. Saukani dan
kedua adiknya kini juga sudah bisa menonton televisi. Rumah yang dulu hanya
sekedar gubug kecil yang tak ada pemisah antara dapur dan kamar kini telah menjadi
rumah yang berlantai. Saukanipun dilarang ayahnya memecahkan batu – batu lagi.
Meski kadang dia merasa kangen ingin memegang palu dan batu lagi. Bekas – bekas
luka di tangannya sampai kini masih ada, yang membuatnya sering tertegun dan
bersyukur dengan kehidupan ini.
Setelah lulus SMP
Saukani meminta izin kepada ayahnya untuk merantau ke Ibu Kota. Tak mengarti
apa yang ia pikirkan ia hanya ingin memncari pengalaman hidup. Sebenarnya
ayahnya keberatan karena dia sudah di terima di SMA ternama di daerahnya. Tapi
kemauannya sangat keras untuk merantau. Dia ingin belajar dari lingkungan.
Matahari tepat berada
di ubun – ubun ketika terdengar suara yang tak asing di telinga, “Aqua-aqua
mizone minuman dingin yang dingin yang dingin” suara mulut Saukani menawarkan
minuman di salah satu terminal bus di Jakarta, tak mengerti jalan pikiranya
padahal kini ayahnya sudah bisa membeli motor dan mempunyai tabungan. Diapaun
anak yang cerdas yang tidak menemukan kesulitan dalam belajar. Tapi mengapa dia
memilih berjualan di terminal daripada sekolah dan belajar. Malam semakin larut
ketika anak- anak remaja penghuni terminal berpesta pora dengan minuman keras,
Saukani termasuk di dalam gerombolan itu. Apa yang sebenarnya dipikirkan
Saukani seorang anak cerdas yang sangat patuh kepada ayahnya mengapa harus
menjadi seperti sekarang ini.
Sudah hampir satu tahun
dia merantau bukan ilmu yang ia dapat tapi kegersanagan jiwa, dia sering duduk
termenung di bangunan tinggi di dekat terminal. Dia menerawang pandangannya
lurus ke depan, tapi entah apa yang ia pikirkan. Kini hatinya sering menangis
dan merasa was-was. Pada siang harinya dia tidak berjualan lagi dia bercerita
tentang apa yang ia rasakan kepada salah seorang temanaya. Saukani ingin
sekolah lagi, tapi sekolah agama. Entah dari mana datangnya pikiran itu, dia
seperti terbius oleh kehampaan jiwanya. Jiwa yang gersang itu membutuhkan
siraman air yang sejuk dan dingin. Dan cahaya yang menyinari kegelapan hatinya
yang mebuka mata dan pikirannya.
Tepat satu bulan
setelah perbincangan itu ia memutuskan untuk pergi ke Jawa Timur, sesuai saran
dari temannya yang mengetahui sedikit informasi tentang sekolah agama yang
besar di sana. Ayahnya sangat mendukung keputusannya, setelah ia memberi kabar
bahwa ia ingin masuk sekolah agama langsung ayahnya mengirimkan uang kepadanya.
Sesampainya di sekolah tersebut Saukani tak mengerti apa yang harus ia lakukan
ia datang seorang diri tak seperti yang lain yang mendaftar bersama orang
tuanya. Empat tahun berlalu dari pendaftaran hingga kelulusan di sekolah agama
itu orang tuanya tak pernah menjenguknya, hanya doa dari ayah dan ibunya dan
kiriman uang yang selalu ia terima setiap bulan. Tapi ia sungguh sangat
bersyukur keputusannya bersekolah di tempat itu telah membuka wawasannya
keilmuannya, dan telah mendidiknya menjadi pribadi yang lebih sempurna akhlak
dan budi pekertinya, perjuanagan hidup kental ia rasakan selama belajar di
sekolahnya itu.
Saukani sipemecah batu
yang kurus kering karena kekurangan makan dan berkulit hitam karena sengatan
terik matahari demi membantu ayahnya memenuhi kebutuhan hidupnya, dan telah merasakan
pahitnya kehidupan sebagai penjual minuman di Ibu kota. Kini ia menjadi
kebanggan orang tua dan desanya. Saukani Harahap student of Internasional Islamic University of Malaysia. Hidup itu seperti roda yang berputar
saat kamu berada di bawah jangan pernah putus asa untuk berjuang!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar