Rabu, 13 November 2013

Cerpen 2



Pilihan Hidupku

Setiap hari adalah pilihan, memilih untuk menopang dagu dengan tangan atau memilih bergerak dengan penuh paksaan. Menurutku lebih nikmat menopang dagu dengan tangan selama beberapa jam, dan merangkai sejuta angan. Menghayalkan semua imaji dalam lamunan, bergerak dan terus melambungkan masa yang akan datang sesuai yang aku mau. “Senangnya” suamiku adalah seorang yang kaya raya, baik hati dan taat beragama, tak perlu lah aku sebagai wanita bekerja dan ikut membanting tulang untuk menerjang kerasnya dunia. Aku hanya akan menghabiskan uangnya, pergi ke salon setiap minggu, dan makan enak sesuai yang aku mau, aku juga akan membeli baju, sepatu, tas model terbaru. Dan yang lebih penting aku bisa menunjukan kekayaanku pada orang-orang di kampungku. Dan membuat orang tuaku bangga memiliki anak sepertiku. Setiap pulang ke rumah orang tuaku, aku harus membawa mobil supaya semua mata melihat sekarang aku sudah sukses dan aku bisa membawa mereka berlibur keliling dunia. Indah sekali hidupku,  dengan uang aku bisa merangkai mimpiku.
 Dalam mimpi imajiku terus berlayar hingga samudra yang luas, tak ada batasan yang menghalangiku tak ada rintangan. Samudra begitu luas membentang biru, bersatu dengan langit di ujung yang tak pernah berujung, dihiasi lengkung pelangi yang menghangatkan sanubari, aku menutup mata menikmati sentuhan angin yang menerpa wajahku. Ku hirup sebagian udara pagi yang menjadi energi alami untuk menenagkan pikiran dan hati. Sebelum akhirnya aku menyadari, aku hanyalah orang biasa yang tak pernah punya mimpi. Meskipun kata guru – guruku dulu  bercita citalah setinggi langit. Dan akupun menuruti aku membuat cita-cita aku tulis cita- cita dengan tulisan yang besar dan ku tempel di dinding kamarku. Dinding dinding yang menjadi saksi kebodohanku. Dinding dinding yang terus menertawaiku. Dinding dinding yang kini selalu menghujatku pecundang. Cita – citaku sederhana tak setinggi langit seperti kata guruku, aku hanya ingin menjadi seorang dokter, dokter yang mengobati tanpa tanpa melihat penampilan, dokter yang ramah dan murah senyum, dokter yang berhati nurani dan berjiwa penolong dan dokter yang tak pernah menolak pasiennya yang sedang sekarat.
Semua berawal dari dokter gila itu, yang menolak ibuku dengan perut yang terus di gerogoti bakteri. Sudah tiga rumah sakit daerah tak bisa menangani hingga harus  dirujuk ke rumah sakit terbesar. Namun kata dokter “yang masuk ke UGD adalah orang yang sudah tak sadarkan diri dan memakai ambulance lah ini ibu masih sehat bisa bicara kok masuknya ke UGD, sudah sana antre mendaftar dulu di bagian poli”. Untung saja ibuku tak meninggal di tempat, mendengar perkataan dokter yang kejam itu. Ibuku memang orang yang kuat meskipun penyakit sudah lama menggerogoti tubuhnya namun ia tak lemah dan tak pernah mau meropotkan orang lain. Sungguh aku tak mengerti tapi kami sekeluarga membawa surat rujukan dari rumah sakit daerah, atau karena penampilan kami yang kampungan, atau ibuku harus sekarat dulu. Setelah melalui perdebatan panjang akhirnya ibu dizinkan masuk ke UGD sebelum akhirnya diperiksa lebih lanjut oleh dokter tak berhati itu. Ternyata memang benar isi perut ibu sudah rusak kotor sehingga harus mengalami operasi berkali kali. Saat operasi yang pertama gagal ayahku sudah pucat pasi. Ayahku adalah seorang pengangguran hanya mengurusi sawah warisan, setelahnya tidur dan bersantai di rumah. Ya aku heran mengapa ayahku tak pernah berusaha mencari penghasilan tambahan, padahal jika ia cekatan pasti tanah- tanah warisannya bisa di bisniskan. Untung saja ibu adalah PNS yang sudah sertifikasi jadi cukup untuk menghidupi keluarga yang pada saat itu aku masih SD. Namun seolah bencana besar merobohkan kehidupan kami, mengobrak abrik seluruh isi rumah kami. Mulut ini sudah kelu, mata ini sudah kering. Setelah operasi yang keempat mungkin perut ibu sudah tak bersedia di bedah dan dibedah lagi, sehingga ibu memilih untuk tidur selamanya. Aku marah mengapa ibu tak mau bertahan, demi aku demi cita- citaku. Ibulah yang selalu memberiku semangat dan mendukung cita- citaku. Tapi sejak saat itu aku tak pernah bermimpi lagi, meski tetap aku masih suka berimajinasi merangkai kehidupan yang menyenangkan  menjadi orang yang aku inginkan. Bedanya dulu aku bermimpi, berusaha, berdoa dan selalu berjuang untuk meraih mimpiku. Namun kini aku hanya merangkai mimpi dalam angan, menjadi orang kaya dalam angan, menjadi dokter dalam angan. Setiap hari aku memilih menopang dagu menikmati hidup yang indah dikamar saja, dari kamar aku bisa keliling dunia, dari kamar aku bisa lanjutkan cita- cita, dan kamarlah dunia yang lebih luas bagiku. Sepertinya kini bukan hanya dinding dinding yang menertawakanku, pintu, jendela, bahkan tempat tidurkun mulai menertawakanku. Aku malu, aku yang selalu ranking 1 kini menjadi pecundang penunggu kamar. Aku yang selalu dibanggakan oleh semua tetanggaku karena kecerdasanku, kini hanya rasa sedih yang setiap saat menyelimuti hidupku. Aku malu saat melihat teman- temanku yang dulu tak sepintar aku telah jadi sarjana. Meskipun aku sering jadi orang kaya, sering keluar negeri, namun semua itu hanya dalam naskah-naskah drama yang usung yang hanya di pentaskan olehku saja.
Kesedihan itu tak berhenti ketika ibuku meninggalkan kami, rupanya ayah tak kuasa memikirkan kami sendiri, di tambah tanah – tanah yang sudah dijual untuk biaya operasi ibuku.  Ayah merasa tak mampu menghidupi kami tanpa ibu, hingga suatu hari aku kebingungan melihat tingkah laku ayahku. Setiap pagi dia selalu bersiap – siap seolah mengantarkan ibu ke sekolah. Dia bercengkrama dan tertawa bahagia menyalakan motor lalu pergi ke sekolah, kemudian pulang duduk di ruang tengah sambil melamun. Aku takut, aku tak tau harus bagaimana dan aku tak pernah mengadu pada siapapun. Setiap kali adiku menagis mencari ibu aku hanya bisa berbohong ibu sedang pergi ke warung dan selalu begitu setiap hari. Aku tak lagi memikirkan cita- citaku,  yang ada di benaku adalah malu magaiman kalau teman-tamanku tahu aku yang selalu rangking satu, kini tak ingat lagi semua rumus matematika dan lupa cara menulis.
Aku masih memperhatikan ayahku yang ketika mendengar lonceng jam berbunyi menujukan pukul satu siang langsung bergegas menyalakan motor dan pergi ke sekolah lalu pulang lagi dan tidur. Begitu dan begitu setiap hari, hingga lama kelamaan semua tetanggaku memperhatikan tingkah laku ayahku yang sudah tak sama seperti dulu. Sebegitu terpukulkah ayahku hingga harus seperti itu? Lalu bagaimana dengan aku yang belum genap 12 tahun ini? Lalu bagaimana aku harus mengurusi adik- adiku yang seringkali menangis dan menanyakan ayah dan ibu.
Saat ini usiaku 20 tahun, sudah 9 tahun masa-masa itu berlalu. Terasa cepat sekali kenangan indah hidupku terlewati. Sembilan tahun terlihat seperti sebentar sekali jika dilihat dengan usia sekarang. Namun saat itu, saat aku masih ingin bermimpi, saat aku ingin berprestasi, saat aku tidak ingin hanya mengurusi adik- adiku yang rewel, saat aku ingin juga bermain dengan teman-taman. Waktu itu terasa siksaan bagiku, setiap hari adalah sama, sama-sama derita dan petaka. Belum lagi ayahku yang tidak mau makan dan kadang mengamuk. Lalu siapa yang harus meneruskan mimpiku. Jika aku terus terpaku pada kesedihanku.
Inilah jalan hidupku sekarang, inilah pilihanku sekarang. Di dalam kamar cita- citaku ku tuliskan. Di dalam kamar aku marangkai angan. Dan kini di dalam kamar pula aku bertahan hidup. Ku gantungkan dulu cita-citaku. Ku tinggalkan dulu semua hayal semu. Hidup ini kenyataan yang harus dijalani. Sudah terlalu lelah aku bermimpi hingga semua mimpi yang menyenangkan telah aku rasakan. Namun aku dan adik –adiku lapar jika tak makan. Aku tak bisa hidup hanya dengan mimpi dan membiarkan adiku mati karena mimpi busuku menjadi seorang dokter. Dan sekarang di dunia nyata ini, setelah ku gantungkan cita-citaku dan menutupinya dengan beberapa helai baju. Di dalam kamarlah aku mencari uang. Hanya ini kenyataan yang bisa aku kerjakan, karena meski kejadian pahit menghapuskan seluruh isi dalam otaku. Namun kajadian pahit tak pernah menghapus kecantikanku dan keelokan tubuhku. Aku tetap sama cantik dan menawan. Itulah kenyataan, kanyataan yang harus aku jalani dan syukuri. Meski harus ku relakan mimpiku hanya tertutupi bajuku dan baju pelangganku. Tapi aku, adiku dan ayahku tak pernah kelaparan lagi. Dan inilah kenyataannya, meski sering kali aku masih menopang dagu.