Pilihan Hidupku
Setiap hari
adalah pilihan, memilih untuk menopang dagu dengan tangan atau memilih bergerak
dengan penuh paksaan. Menurutku lebih nikmat menopang dagu dengan tangan selama
beberapa jam, dan merangkai sejuta angan. Menghayalkan semua imaji dalam
lamunan, bergerak dan terus melambungkan masa yang akan datang sesuai yang aku
mau. “Senangnya” suamiku adalah seorang yang kaya raya, baik hati dan taat
beragama, tak perlu lah aku sebagai wanita bekerja dan ikut membanting tulang
untuk menerjang kerasnya dunia. Aku hanya akan menghabiskan uangnya, pergi ke
salon setiap minggu, dan makan enak sesuai yang aku mau, aku juga akan membeli
baju, sepatu, tas model terbaru. Dan yang lebih penting aku bisa menunjukan
kekayaanku pada orang-orang di kampungku. Dan membuat orang tuaku bangga
memiliki anak sepertiku. Setiap pulang ke rumah orang tuaku, aku harus membawa
mobil supaya semua mata melihat sekarang aku sudah sukses dan aku bisa membawa
mereka berlibur keliling dunia. Indah sekali hidupku, dengan uang aku bisa merangkai mimpiku.
Dalam mimpi imajiku terus berlayar hingga
samudra yang luas, tak ada batasan yang menghalangiku tak ada rintangan.
Samudra begitu luas membentang biru, bersatu dengan langit di ujung yang tak
pernah berujung, dihiasi lengkung pelangi yang menghangatkan sanubari, aku
menutup mata menikmati sentuhan angin yang menerpa wajahku. Ku hirup sebagian
udara pagi yang menjadi energi alami untuk menenagkan pikiran dan hati. Sebelum
akhirnya aku menyadari, aku hanyalah orang biasa yang tak pernah punya mimpi.
Meskipun kata guru – guruku dulu bercita
citalah setinggi langit. Dan akupun menuruti aku membuat cita-cita aku tulis
cita- cita dengan tulisan yang besar dan ku tempel di dinding kamarku. Dinding
dinding yang menjadi saksi kebodohanku. Dinding dinding yang terus
menertawaiku. Dinding dinding yang kini selalu menghujatku pecundang. Cita –
citaku sederhana tak setinggi langit seperti kata guruku, aku hanya ingin
menjadi seorang dokter, dokter yang mengobati tanpa tanpa melihat penampilan,
dokter yang ramah dan murah senyum, dokter yang berhati nurani dan berjiwa
penolong dan dokter yang tak pernah menolak pasiennya yang sedang sekarat.
Semua berawal
dari dokter gila itu, yang menolak ibuku dengan perut yang terus di gerogoti
bakteri. Sudah tiga rumah sakit daerah tak bisa menangani hingga harus dirujuk ke rumah sakit terbesar. Namun kata
dokter “yang masuk ke UGD adalah orang yang sudah tak sadarkan diri dan memakai
ambulance lah ini ibu masih sehat bisa bicara kok masuknya ke UGD, sudah sana antre
mendaftar dulu di bagian poli”. Untung saja ibuku tak meninggal di tempat,
mendengar perkataan dokter yang kejam itu. Ibuku memang orang yang kuat
meskipun penyakit sudah lama menggerogoti tubuhnya namun ia tak lemah dan tak
pernah mau meropotkan orang lain. Sungguh aku tak mengerti tapi kami sekeluarga
membawa surat rujukan dari rumah sakit daerah, atau karena penampilan kami yang
kampungan, atau ibuku harus sekarat dulu. Setelah melalui perdebatan panjang
akhirnya ibu dizinkan masuk ke UGD sebelum akhirnya diperiksa lebih lanjut oleh
dokter tak berhati itu. Ternyata memang benar isi perut ibu sudah rusak kotor
sehingga harus mengalami operasi berkali kali. Saat operasi yang pertama gagal
ayahku sudah pucat pasi. Ayahku adalah seorang pengangguran hanya mengurusi
sawah warisan, setelahnya tidur dan bersantai di rumah. Ya aku heran mengapa
ayahku tak pernah berusaha mencari penghasilan tambahan, padahal jika ia
cekatan pasti tanah- tanah warisannya bisa di bisniskan. Untung saja ibu adalah
PNS yang sudah sertifikasi jadi cukup untuk menghidupi keluarga yang pada saat
itu aku masih SD. Namun seolah bencana besar merobohkan kehidupan kami,
mengobrak abrik seluruh isi rumah kami. Mulut ini sudah kelu, mata ini sudah
kering. Setelah operasi yang keempat mungkin perut ibu sudah tak bersedia di
bedah dan dibedah lagi, sehingga ibu memilih untuk tidur selamanya. Aku marah
mengapa ibu tak mau bertahan, demi aku demi cita- citaku. Ibulah yang selalu
memberiku semangat dan mendukung cita- citaku. Tapi sejak saat itu aku tak
pernah bermimpi lagi, meski tetap aku masih suka berimajinasi merangkai
kehidupan yang menyenangkan menjadi
orang yang aku inginkan. Bedanya dulu aku bermimpi, berusaha, berdoa dan selalu
berjuang untuk meraih mimpiku. Namun kini aku hanya merangkai mimpi dalam
angan, menjadi orang kaya dalam angan, menjadi dokter dalam angan. Setiap hari
aku memilih menopang dagu menikmati hidup yang indah dikamar saja, dari kamar
aku bisa keliling dunia, dari kamar aku bisa lanjutkan cita- cita, dan kamarlah
dunia yang lebih luas bagiku. Sepertinya kini bukan hanya dinding dinding yang
menertawakanku, pintu, jendela, bahkan tempat tidurkun mulai menertawakanku.
Aku malu, aku yang selalu ranking 1 kini menjadi pecundang penunggu kamar. Aku
yang selalu dibanggakan oleh semua tetanggaku karena kecerdasanku, kini hanya
rasa sedih yang setiap saat menyelimuti hidupku. Aku malu saat melihat teman-
temanku yang dulu tak sepintar aku telah jadi sarjana. Meskipun aku sering jadi
orang kaya, sering keluar negeri, namun semua itu hanya dalam naskah-naskah
drama yang usung yang hanya di pentaskan olehku saja.
Kesedihan itu
tak berhenti ketika ibuku meninggalkan kami, rupanya ayah tak kuasa memikirkan
kami sendiri, di tambah tanah – tanah yang sudah dijual untuk biaya operasi ibuku.
Ayah merasa tak mampu menghidupi kami
tanpa ibu, hingga suatu hari aku kebingungan melihat tingkah laku ayahku.
Setiap pagi dia selalu bersiap – siap seolah mengantarkan ibu ke sekolah. Dia
bercengkrama dan tertawa bahagia menyalakan motor lalu pergi ke sekolah,
kemudian pulang duduk di ruang tengah sambil melamun. Aku takut, aku tak tau
harus bagaimana dan aku tak pernah mengadu pada siapapun. Setiap kali adiku
menagis mencari ibu aku hanya bisa berbohong ibu sedang pergi ke warung dan
selalu begitu setiap hari. Aku tak lagi memikirkan cita- citaku, yang ada di benaku adalah malu magaiman kalau
teman-tamanku tahu aku yang selalu rangking satu, kini tak ingat lagi semua
rumus matematika dan lupa cara menulis.
Aku masih
memperhatikan ayahku yang ketika mendengar lonceng jam berbunyi menujukan pukul
satu siang langsung bergegas menyalakan motor dan pergi ke sekolah lalu pulang
lagi dan tidur. Begitu dan begitu setiap hari, hingga lama kelamaan semua
tetanggaku memperhatikan tingkah laku ayahku yang sudah tak sama seperti dulu.
Sebegitu terpukulkah ayahku hingga harus seperti itu? Lalu bagaimana dengan aku
yang belum genap 12 tahun ini? Lalu bagaimana aku harus mengurusi adik- adiku
yang seringkali menangis dan menanyakan ayah dan ibu.
Saat ini
usiaku 20 tahun, sudah 9 tahun masa-masa itu berlalu. Terasa cepat sekali
kenangan indah hidupku terlewati. Sembilan tahun terlihat seperti sebentar
sekali jika dilihat dengan usia sekarang. Namun saat itu, saat aku masih ingin
bermimpi, saat aku ingin berprestasi, saat aku tidak ingin hanya mengurusi
adik- adiku yang rewel, saat aku ingin juga bermain dengan teman-taman. Waktu
itu terasa siksaan bagiku, setiap hari adalah sama, sama-sama derita dan
petaka. Belum lagi ayahku yang tidak mau makan dan kadang mengamuk. Lalu siapa
yang harus meneruskan mimpiku. Jika aku terus terpaku pada kesedihanku.
Inilah jalan
hidupku sekarang, inilah pilihanku sekarang. Di dalam kamar cita- citaku ku
tuliskan. Di dalam kamar aku marangkai angan. Dan kini di dalam kamar pula aku
bertahan hidup. Ku gantungkan dulu cita-citaku. Ku tinggalkan dulu semua hayal
semu. Hidup ini kenyataan yang harus dijalani. Sudah terlalu lelah aku bermimpi
hingga semua mimpi yang menyenangkan telah aku rasakan. Namun aku dan adik
–adiku lapar jika tak makan. Aku tak bisa hidup hanya dengan mimpi dan
membiarkan adiku mati karena mimpi busuku menjadi seorang dokter. Dan sekarang
di dunia nyata ini, setelah ku gantungkan cita-citaku dan menutupinya dengan
beberapa helai baju. Di dalam kamarlah aku mencari uang. Hanya ini kenyataan
yang bisa aku kerjakan, karena meski kejadian pahit menghapuskan seluruh isi
dalam otaku. Namun kajadian pahit tak pernah menghapus kecantikanku dan
keelokan tubuhku. Aku tetap sama cantik dan menawan. Itulah kenyataan,
kanyataan yang harus aku jalani dan syukuri. Meski harus ku relakan mimpiku
hanya tertutupi bajuku dan baju pelangganku. Tapi aku, adiku dan ayahku tak
pernah kelaparan lagi. Dan inilah kenyataannya, meski sering kali aku masih
menopang dagu.
How well your writing, Wening :)
BalasHapusjust try to write Mr. Haris
BalasHapus