Rabu, 24 Juli 2013

Short Story adaptasi Saman


“Upi”

Namaku Upi, sejak aku lahir aku tak pernah mengenal siapapun bahkan orang tuaku. Aku merasakan sendiri apa yang aku rasa, semuanya tak pernah mengetahui maksud dalam otaku, ataupun aku sebenarnya tak berotak, akupun tak tahu. Tapi aku tetap hidup hingga dewasa meskipun aku tak juga berbicara pada setiap orang yang memarahiku. Saat semua mencaci makiku aku hanya bisa tersenyum bahkan menertawakan mereka, tapi mereka semua tidak senang dengan tawaku itu. Aku tak pernah mengerti untuk apa mereka marah bahkan ternyata aku tak tahu artinya marah. Aku bertahan tidak untuk siapapun, beruntung rupanya aku. Hidup yang tak pernah bertanggungan. Aku lebih beruntung dari orang yang mempermainkanku, senyumku dan setiap perbuatanku tak perlu   kupertanggungjawabkan. Aku tak perlu pusing menghadapi hari perhitungan nanti, padahal akupun tak pernah berbuat baik pada siapapun, bahkan aku pernah membuat orang yang selalu menjagaku itu terluka parah. Mukanya yang seperti lelaki itu ku siram dengan air, aku tak mengerti air apa itu. Setelah ku siram mukanya berubah seperti tak bermata. Tapi aku tidak takut dan aku tidak pernah takut aku salah. Aku tidak akan disiksa seperti orang lain, aku hanya akan menjadi kapas putih yang mungkin akan menghiasi surga, meski aku tak pernah berbuat baik apalagi aku tak pernah tahu bersembahyang. Aku tak mengerti mengapa aku ada, untuk apa aku ada, siapa aku, dan yang terpenting aku tak pernah bisa memilih untuk hidupku aku hidup tanpa tujuan aku tak pernah tahu apa yang kulakukan nanti, besok ataupun tadi. Tapi aku tetap tersenyum meski kadang aku menangis yang  jelas aku tak perlu mempertangungjawabkan seluruh berbuatan busukku, pemerkosa yang dihukum di dunia dan dilaknat di akhirat. Aku tak perlu dihukum meski aku sering memerkosa hingga mati. Tapi aku beruntung aku tak sadar sehingga aku tak akan pernah dihukum. Tuhan begitu menyayangiku begitu memudahkanku. Aku hidup semauku aku boleh melakukan apapun sejak aku lahir, sebab keadaanku tak pernah berubah. Hanya orang yang tak pernah tahu. Apa kalian tega menyalahkanku? Bahkan aku tak tau cara yang baik merawat diriku. Aku tak pernah tau tak pernah mengerti semua yang aku kerjakan. Tapi aku wanita dewasa, aku juga tek mengerti Tuhan memberi satu rasa yang harus aku kejar dan aku begitu menikmati, rasa itu sering muncul ketika darah keluar di sela pangkal kakiku, rasanya memuncak tak tertahankan. Karena aku tak bisa berpikir aku hanya menikmati yang ku rasa itu. Rasanya nikmat saat ku gesekan ke tiang tiang listrik, tapi aku bosan jika mereka hanya diam, lalu aku mencari kambing bahkan ayam untuk memuaskanku. Aku tak peduli apa perasaan mereka sampai-sampai mereka mati aku buat. Tapi aku tak peduli aku hanya haus aku seperti kehausan mencari pemuasku. Tapi kadang aku beruntung atau rugi, aku tak sepenuhnya mengerti. Sering pula ada manusia berotak namun tak berakal yang turut menikmati tubuhku. Aku bagai dihujam parang di antara kedua kakiku hingga aku berdarah dan memang aku telah berdarah. Aku menggeliat nikmat dan berkeringat, akupun bahagia saat manusia tak berakal meremas dan menjilati bagian yang seringku sentuh sendiri di depan dadaku, rasanya aku bahagia, aku tak mengerti aku sedang di perkosa. Aku hanya haus dan orang tak berakal memberiku minum yang banyak dan enak. Setelah aku mengembara mencari kenikmatan pasti akhirnya aku berakhir ditempat ini. Yang tak pernah bau wangi, hanya bau kayu kayu lapuk dan bau menyengat bekas kotoranku. Sampai suatu ketika aku bertemu seorang yang yang berpedang, yang mempunyai mata kasih dan mata cinta. Ia mengganti tempat ini menjadi lebihku nikmati melepaskan belenggu tanagan dan kakiku yang sudah terlajur membekas membuatnya mengecil. Aku tak pernah bertemu dengan orang yang pernahku temui seperti dia yang menyempatkan waktu untuk mempedulikanku dan melihatku yang tak pantas dilihat, sampai suatu saat ia terkejut saat akupun memandangnya dan aku haus kembali, lalu kupegang pedangnya dari balik jeruji yang memisahkan kita. Lalu dia menggeliat terkejut karena dia tak pernah disentuh ataupun menyentuh sebelumnya. Karena dia adalah seorang pastor. Dan aku Upi, Upi yang bisu dan tuli sejak lahir dan aku Upi yang tak bisa berpikir, hingga orang-orang sering menyebutku GILA dan aku Upi yang haus akan seks.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar